TUGAS
KELOMPOK DOSEN PEMBIMBING
SIAT M. FAHLI ZATRA HADI M.PD
RESPON PEMERINTAH TERHADAP ISLAM
DI INDONESIA
ATAU KONTRIBUSI PARTAI ISLAM DI
INDONESIA
DISUSUN OLEH:
YULLAINI
M RIDHO FADLI
NIKMATUZZAHRA
WIDIA ASTUTI
KELAS: 2D
PROGRAM STUDI
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang RESPON PEMERINTAH TERHADAP ISLAM DI
INDONESIA ATAU KONTRIBUSI PARTAI ISLAM DI INDONESIA.
Shalawat beriring salam
semoga tetap tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW
yang mana telah membawa umat
manusia dari alam kegelapan dan alam
kebodohan ke alam terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti
sekarang ini.
Makalah
ini merupakan suatu kesempatan bagi mahasiswa untuk dapat menerapkan ilmu-ilmu
yang sudah didapat dalam perkuliahan terutama pada mata kuliah SIAT (STUDI ISLAM ASIA TENGGARA).
Kritik
dan saran dari berbagai
pihak
sangat kami harapkan sebagai bahan perbaikan makalah ini untuk kedepannya.
Pekanbaru, 29 Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………1
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...2
BAB
I PENDAHULUAN………………………………………………………...3
1.
Latar Belakang…………………………………………………………….3
2.
Rumusan
Masalah…………………………………………………………4
3.
Tujuan
Penulisan…………………………………………………………..4
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………………………5
A.
Kontribusi
Partai Islam Pada Politik Indonesia…………………………...5
BAB III
PENUTUP……………………………………………………………...16
A.
Kesimpulan……………………………………………………………….16
B.
Saran………………………………………………………………….......16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Islam di indonesia awalnya bertujuan untuk
melakukan perdagangan dan menyebarkan ajarannya ke penjuru indonesia. Pada awal
kemerdekaan, masyarakat Indonesia sudah banyak memeluk agama islam. Saat itu presiden
pertama di Indonesia yaitu Ir.Soekarno membuka peluang untuk membentuk berbagai
partai politik, dan tidak tertutup kemungkinan kumpulan umat islam ikut membentuk
partai politik yang bersyariat islam.
Sejak itu
para pemimpin Islam di Indonesia berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan
yang membelit sebagian besar umatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan.
Setelah sekian lama terkungkung oleh kebijakan diskriminatif penjajah,
kemerdekaan memang memberi peluang umat Islam untuk mengembangkan diri. Namun
sampai lebih dari enam puluh tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, citra
tentang kemiskinan dan keterbelakangan itu masih juga belum terhapus. Sebagian
besar umat Islam Indonesia jauh tertinggal dalam berbagai hal seperti,
pendidikan yang rendah, bidang pekerjaan yang secara materil kurang menguntungkan,
kualitas hidup fisik yang rendah, dan status sosial ekonomi yang juga rendah.
Dengan demikian,
para pemimpin dan aktivis Muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang
memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya
memperoleh kekuasaan. Sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi tindakan dan
pikiran orang lain serta mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik,
kekuasaan dinilai sangat penting. Apapun tujuan akhir yang hendak
diperjuangkan, setiap aktivis harus mencapai tujuan antara memperoleh kemampuan
mempengaruhi orang dan proses kebijakan. Dengan kata lain, harus memiliki
otoritas dan legalitas. Cita-cita seperti mengurangi kemiskinan rakyat pasti
memerlukan kemampuan mempengaruhi proses kebijakan publik.
2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah di uraikan, maka rumusan masalah adalah bagaimana kontribusi partai islam pada politik Indonesia?
3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui kontribusi partai islam pada politik Indonesia.
2. Mengetahui kontribusi partai islam pada politik Indonesia pada masa penjajahan.
3. Mengetahui kontribusi partai islam pada politik Indonesia pada masa setelah kemerdekaan
4. Mengetahui kontribusi partai islam pada politik Indonesia pada masa orde baru
5. Mengetahui kontribusi partai islam pada politik Indonesia pada masa reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kontribusi Partai Islam Pada Politik Indonesia
1. Masa Penjajahan
Pada masa
penjajahan Belanda, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia,
bukan saja berhadapan dengan pihak penjajah, tetapi juga dengan orang-orang
Cina. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI tahun 1911, kemudian Sarekat Islam,
SI tahun 1912) mulanya diarahkan kepada orang-orang Cina di Solo. Penyebarannya
ke segenap penjuru tanah air pada waktu itu, dengan meliputi segenap lapisan
penduduk dari bawah sampai atas, lebih karena didorong oleh perasaan seagama.
Akan tetapi dalam lapangan politik, kalangan Islam tidak
berhasil bersatu. Pemetaan umat Islam ke dalam dua kelompok, tradisionalis dan
modernis mulai berkembang pada masa ini. Dan dalam bidang politik, kalangan
tradisionalis belum menjadi penting sehingga kalangan pembaharulah yang lebih
banyak terlibat dalam politik. Oleh sebab itu, perbedaan dalam politik di zaman
Belanda tidak terjadi antara kalangan modernis dengan kalangan tradisionalis,
melainkan antara kalangan modernis sendiri. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh
pertimbangan politik daripada pertimbangan agama.
Pada masa
penjajahan jepang, jepang memberikan peluang kepada ulama untuk berkiprah dalam
bidang politik. Pemerintah juga mendirikan kantor administrasi agama yang
berusaha melakukan semua kegiatan tentang Islam. Sejak itu, ulama mulai
tertarik untuk bekerja di kantor pemerintahan (pusat dan daerah). Akibat
negatifnya adalah berkurangnya jumlah ulama yang memusatkan perhatiannya pada
usaha menjaga keperluan rohani umat karena pindah ke kota-kota.
2. Setelah Kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan
pengumuman yang mendorong rakyat untuk mendirikan Partai politik. Meskipun pada
awalnya, kalangan Islam menyesalkan pengumuman tersebut dan dianggap tidak
tepat waktunya, sebab menurut mereka, pada masa itu yang dikehendaki adalah
persatuan rakyat, dan pendirian Partai-Partai dapat memecah belah rakyat, namun
akhirnya mereka dapat menerima alasan pemerintah bahwa dengan berdirinya
Partai-Partai maka berbagai aliran dalam masyarakat mendapat penyaluran dan
dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Oleh sebab itu umat Islam merasa berkewajiban
mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah politik sehingga
dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang politik. Maka pada saat itu lahirlah
partai-partai politik islam yakni :
a. Masjumi
Setelah adanya pengumuman pemerintah itu,
diadakanlah Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945 yang
dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam. Muktamar memutuskan
untuk mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia (Masjumi) yang
dianggap sebagai satu-satunya Partai politik bagi umat Islam. Pada awalnya,
hanya empat organisasi yang masuk Masjumi (Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,
Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam). Muhammadiyah termasuk yang
baru (modern) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya bersifat
tradisional dalam soal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam
soal-soal dunia sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan
modernis. Pada tahun 1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatuan Umat
Islam Indonesia.
Organisasi-organisasi
Islam bergabung dengan Masjumi segera setelah mereka didirikan kembali. Di
Jawa, Persatua Islam (PI, Bandung) bergabung pada tahun 1948 dan Al-Irsyad pada
tahun 1950. sedangkan dua organisasi dari Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah
dan al-Ittihadiyah menjadi anggota Masjumi kemudian, setelah hubungan antara
Yogyakarta dan Sumatera Utara secara politis pulih.
Pada akhirnya
semua anggota istimewa Masjumi putus hubungan dengan Partai. Ini terjadi pada
puncak perpecahan antara Soekarno dan Masjumi, Sekurang-kurangnya pada saat
ketidakpercayaan Soekarno terhadap Masjumi dan juga sebaliknya meningkat.
Masjumi dilihat oleh Presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan pemberontakan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia; sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi
sebagai penguasa yang ingin menegakkan kediktatoran dan yang memberi angin bagi
Partai Komunis Indonesia.
Setelah
pimpinan Partai masjumi bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota Istimewa,
melepaskan ikatan antara anggota istimewa dan Masjumi (8 September 1959).
Kebijakan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi, sekiranya
Masjumi mendapat hambatan dalam geraknya. namun, pada tahun 1960 Masjumi
terpaksa dibubarkan oleh perintah Soekarno.
b. Perti
Partai
Politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah
Islamiyah, yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Organisasi ini
didirikan di suatu Pesantren di Candung dekat Bukittinggi pada tanggal 20 Mei
1930. Ia merupakan benteng pertahanan golongan tradisionalis terkenal di
Minangkabau terhadap penyebaran dan gerakan modern.
Pada masa pendudukan Jepang, Perti banyak terlibat dalam
bidang pendidikan dan sosial. Pada tahun 1944, Perti bergabung ke Majelis Islam
Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam di seluruh Sumatera yang
diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Sehubungan dengan pengumuman pemerintah agar rakyat
mendirikan Partai politik, pimpinan Perti memutuskan untuk menjadikan
organisasi mereka sebagai sebuah Partai politik. Keputusan ini diambil pada
tanggal 22 November 1945 dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22 –
24 Desember 1945. Berbagai alasan Perti berjalan adalah : pertama, kelihatannya
mereka tidak cocok berada dalam MIT (yang juga berubah bentuk menjadi Partai
politik) dan kemudian dengan Masjumi (sebagai transformasi dari MIT) oleh
karena dominasi kalangan modernis yang kurang memperhatikan perasaan dan
aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua, para pemimpin Perti cepat
melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka, dan ini
menurut mereka lebih mudah dilakukan dengan mengubah organisasi menjadi Partai
daripada berjuang dalam MIT dan Masjumi.
c. Syarikat Islam
Didirikan
di Solo pada 11 November 1912, syarikat islam tumbuh dari organisasi yang
mendahuluinya yang bernama syarikat dagang islam(SDI). Syarikat Dagang Islam
didirikan karena kompetisi yang meningkatkan dalam bidang perdagangan batik
terutama dengan golongan cina. Di samping itu dirasakan pula tekanan oleh masyarakat
Indonesia di Solo ketika itu dari kalangan bangsawan Indonesia sendiri.
Syarikat dagang islam dimaksudkan menjadi benteng bagi Indonesia yang umumnya
terdiri dari pedagang-pedagang batik di Solo terhadap orang-orang cina dan para
bangsawan tersebut.
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama
Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H.
Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang
berpengaruh. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan
India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, utusan Hindia.
Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi
Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji
Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini
dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga
dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat
disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
1) Mengembangkan jiwa dagang
2) Membantu anggota-anggota yang
mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3) Memajukan pengajaran dan semua usaha
yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4) Memperbaiki pendapat-pendapat yang
keliru mengenai agama Islam.
5) Hidup menurut perintah agama.
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun
persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan
masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi
dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan
menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan
kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi
pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan
berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan
wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan
Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota volksraad atas
namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central SI
sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh terdepan dalam Central
Sarekat Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga yang dibuat
Pemerintah Hindia Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad (semacam Dewan
Rakyat), karena volksraad dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang
hanya mementingkan urusan penjajahan di Hindia ini dan tetap mengabaikan
hak-hak kaum pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah menyuarakan agar
bangsa Hindia (Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri, yang
hal ini ditolak oleh pihak Belanda.
d. Nahdlatul Ulama
Organisasi
ini didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan
perkembangan paham pembaru dalam Islam di tanah air, serta usaha mempertahankan
ajaran tradisional dan mazhab di tanah suci yang baru dikuasai golongan Wahabi
di bawah Raja Abdul Aziz ibn Saud.
Perhatian NU
dalam bidang politik terlihat pada masa revolusi. Organisasi ini mengeluarkan
fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib
bagi tiap muslim. Pada tahun 1949 ketika mulai tampak jelas bahwa Belanda akan
meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan kurang serasinya dengan Masjumi.
Adanya perubahan dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi
dijadikan alasan bagi penarikan diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU,
Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta pada akhir tahun 1949 diubah sedemikian
rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat penting bagi para ulama dan
pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak lagi dijadikan sebagai badan
legislatif di samping DPP, melainkan hanya dijadikan badan penasihat saja.
Segala persoalan hanya dari jurusan politik saja dengan tidak lagi mengambil
pedoman agama.
Akan tetapi,
jika ditelusuri lebih jauh, pengunduran diri NU dari Masjumi ini lebih terkait
dengan perebutan jabatan Menteri Agama antara Muhammadiyah (modernis) dengan NU
(tradisional). NU bersikeras agar jabatan itu menjadi miliknya yang tidak
disetujui oleh pimpinan Masjumi. Ketika akhirnya jabatan itu benar-benar jatuh
ke tangan Muhammadiyah, NU memisahkan diri dari Masjumi dan mendirikan Partai
politiknya sendiri. Hal ini terjadi pada kongres di Palembang akhir April 1952.
Pada Pemilu
tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa; dari 8 kursi di DPRS meningkat
menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang Masjumi (20,9%), Partai
Nasional Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai Komunis (16,4%).
Partai-Partai Islam lainnya hanya mendapat kurang dari 3% suara. Pada periode
antara tahun 1960 sampai tahun 1965 kekuatan Islam terlibat konfrontasi yang
sengit dengan kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi terpimpin menjadi lebih
agresif dalam mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat Islam.
3. Masa Orde Baru
Pada periode
awal pemerintahan orde Baru, kekuatan Partai Islam di tingkat nasional
memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang
1968 dan 1969 Partai-Partai Islam mensponsori program-program “hari peringatan
Piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap 22 Juni. Suatu hal yang perlu disorot,
isu ini kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun
Parmusi (mantan Masyumi), yang kedudukannya sering dianggap mewakili sayap
Islam tradisional dan modernis yang sebelumnya mengalami keretakan.
Namun,
keinginan para pemimpin Partai Islam untuk merehabilitasi kembali Masyumi mulai
mengambang setelah Soeharto menolaknya pada tanggal 6 Desember 1967. Berbagai
usaha dilakukan oleh pemimipin Islam untuk melakukan konsolidasi Partai Islam,
Namun mereka mulai merasakan justru mulai mendapat tekanan dari pemerintah Orde
Baru. Keadaan itu tentu saja menyengat perasaan umat Islam, terutama kalangan
aktifis politik Islam, karena berbagai tekanan dan larangan itu justru berasal
dari pemerintah Orde Baru yang tokoh-tokohnya telah mereka bantu dalam masa
penumbangan Orde Lama. Terjadinya kesenjangan harapan dan kenyataan yang mereka
hadapi itulah yang menjadi salah satu sebab meluasnya konfrontasi kekuatan
politik Islam dengan negara pada dua dekade pertama Orde Baru.
Sebagai
bagian dari desain restrukturisasi politik Orde Baru, negara memandang perlu
meneruskan pengendalian Partai politik melalui penyederhanaan jumlah Partai
politik yang ada. Penyederhanaan dilakukan dengan cara pengelompokan
(regrouping) dari sepuluh kontestan Pemilu menjadi tiga kelompok. kelompok
spritual-material, kelompok material spiritual dan kelompok karya.
Setelah
sempat mendapat ganjalan karena penolakaan dari PKI dan Parkindo untuk masuk
dalam kelompok spritual, akhirnya disepakati pada tahun 1970 terbentuk dua
koalisi di DPR. Pertama, kelompok Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI,
PKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik, dan kedua, kelompok spritual yang terdiri
dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Setelah melalui serangkaian perundingan dan musyawarah,
pada tanggal 5 Januari 1973, di Jakarta berhasil disepakati pendirian Partai
dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Dalam “konfederasi” Partai-Partai
Islam yang baru itu terlihat adanya kompromi maksimal dari unsur-unsur yang
berfusi, ditandai dengan upaya pengalokasian kekuasaan Partai berdasarkan
perolehan suara pada pemilu 1971.
Pada awal dekade 1980-an, rezim Orde Baru memaksa NU
mengambil pilihan yang jelas antara oposisi atau akomodasi. Dalam pidato
kenegaraannya pada 16 Agustus 1982 untuk pertama kalinya mengemukakan
gagasannya untuk menerapkan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh
kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia.
Muncul reaksi yang beragam dari berbagai kalangan umat
Islam atas rencana tersebut. PB HMI pada awalnya melakukan penolakan, namun
akhirnya melunak setelah KAHMI yang dikontrol oleh Nurkholis Majid Cs.
mengimbau kongres HMI tahun 1986 agar tidak berbenturan dengan masyarakat dan
pemerintah. Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU Parpol dan Ormas
disahkan, dan hanya mengusulkan penegasan bahwa “Pancasila bukan Agama dan
Agama tidak diPancasilakan”. Sementara reaksi penolakan muncul dari
pemimpin-peminpin masyarakat di kota-kota besar, terutama di Jakarta.
Di tengah
meluasnya keragu-raguan dan penolakan sebagian umat Islam, NU membuat kejutan
dengan menerima azas tunggal. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerimaan
ini. Pertama, terjadinya kemelut internal PPP di sekitar Pemilu 1982 telah
merembet ke tubuh NU hingga masing-masing fraksi yang bertikai saling memperebutkan
dukungan pemerintah. Kedua, munculnya tantangan yang luas di masyarakat
terhadap rencana azas tunggal mengakibatkan kelompok mana yang lebih dulu
menerima, memiliki bobot politis yang besar, ini berarti merupakan kesempatan
gerakan “pemikiran baru” di NU untuk memperoleh kepercayaan kembali negara
terhadap NU.
Akhirnya, munas NU di Situbondo berhasil mengambil
keputusan strategis menyangkut kembalinya NU sebagai organisasi sosial secara
penuh yang berarti melepaskan dirinya secara organisatoris dengan PPP. Langkah
ini kemudian dikenal sebagai kembali ke Khittah 1926. Dengan diterimanya
Pancasila sebagai azas tunggal oleh Partai-Partai politik Islam, maka dapat
dikatakan Partai-Partai Islam sudah tidak ada lagi sejak saat itu.
4.
Masa Reformasi
Lahirnya Masa Reformasi ditandai dengan tumbangnya
pemerintahan Soeharto pada taggal 21 Mei 1998, yang disebabkan oleh demonstrasi
massa yang sangat besar yang menuntut perubahan dalam segala bidang termasuk
bidang kebebasan politik, kebebasan pers serta pemberantasan Korupsi , Kolusi
dan Nepotisme. Presiden B.J.Habibie yang menggantikan Soeharto pada masa itu
membuka demokrasi ini dengan seluas-luasnya yaitu dengan membuka dan menjamin
kebebasan pers serta membebaskan berdirinya partai-partai politik yang baru.
Kebijakan Presiden B.J.Habibie yang membebaskan berdirinya
partai politik itu, disambut dengan lahirnya ratusan partai politik baru di
Indonesia yaitu paling tidak 181 partai politik, yang dilanjutkan dengan
pelaksanaan pemilu yang dipercepat pada bulan Juni 1999. Dalam pemilu pertama
masa reformasi itu, tidak seluruh partai politik yang terdaftar bisa ikut
pemuli, karena setelah dilakukan verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum pemilu
tersebut hanya diikuti oleh 48 partai Politik. Pemilu ini, dianggap sebagai
pemilu paling demokratis yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sepanjang
sejarahnya setelah Pemilu pertama pada tahun 1955. Dari seluruh partai politik
peserta pemilu tersebut paling tidak terdapat 8 partai politik Islam, partai-
partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Serikat Islam
Indonesia 1905 (PSII 1905) dideklarasikan pada 21 Mei 1998, Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII) didirikan 29 Mei 1998, Partai Umat Islam (PUI) pada
tanggal 26 Juni 1998, Partai Bulan Bintang (PBB) tanggal 17 Juli 1998, Partai
Keadilan (PK) 20 Juli 1998, Partai Politik Islam Masyumi pada tanggal 28
Agustus 1998, dan Partai Persatuan (PP) tanggal 3 Januari 1999.
Hasil Pemilu tahun 1999, menunjukkan bahwa ternyata
perolehan partai politik Islam sangatlah kecil dibanding dengan perolehan suara
partai politik yang tidak berdasarkan Islam. Partai Persatuan Pembangunan yang
telah berumur hamper seperempat abad hanya memperoleh 58 kursi DPR yaitu 12,6 %
dari 462 kursi yang diperebutkan. Partai Bulan Bintang memperoleh 13 kursi atau
2%, Partai Keadilan memperoleh 7 kursi atau 1,5%, Partai Nahdatul Ummah
memperoleh 5 kursi atau 1%, serta 3 partai Islam lain yang memperoleh kursi
masing-masing 1 kursi, yaitu Partai Kebangkitan Ummat, Partai Syarikat Islam
serta Partai Masyumi sehingga berjumlah 3 kursi atau 0,64 %.
Sementara itu, kedua partai yang
berbasiskan massa Islam, memperoleh kursi yang juga tidak begitu besar, yaitu
Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh 51 kursi atau 11% dan Partai Amanat
Nasional memperoleh 34 kursi atau 7,36 %. Sehingga total perolehan kursi kedua
partai ini adalah 85 kursi atau 18,36%. Jumlah ini seimbang dengan perolehan
kursi partai-partai Islam. Sedangkan total perolehan kursi partai Islam dan
partai barbasis massa Islam adalah 171 kursi atau 37 %.
Peranan dan kedudukan parlemen hasil pemilu tahun 1999,
menempati posisi yang sangat strategis bagi masa depan Indonesia, karena dalam masa
inilah kebijakan-kebijakan strategis dan mendasar bagi masa depan Indonesia di
letakkan antara lain dengan adanya perubahan yang sangat besar pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, partai-partai Islam yang dikendalikan oleh
Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan penambahan 7
kata dari Piagam Jakarta dalam pasal 29 ayat 1, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya. Pada
sisi lain usulan ini tidak mendapatkan dukungan dari kedua partai yang berbasis
massa Islam di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini dipahami karena kedua
partai ini mengklaim dirinya sebagai partai terbuka. Sangat berbeda dengan
posisi perdebatan dalam hasil pemilu tahun 1955, dimana seluruh partai Islam
memperjuangan Islam sebagai dasar Negara, baik dari NU yang duduk dalam
Konstituante maupun dari basis Muhammadiyah sebagai anggota luar biasa Masyumi.
Perkembangan ini mengindikasikan adanya perubahan yang besar dalam cara pandang
para politisi Islam mengenai hubungan negara dengan agama (Islam).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
masa penjajahan Belanda, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang
Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah indonesia mengeluarkan
pengumuman yang mendorong rakyat untuk mendirikan Partai politik. Pada periode
awal pemerintahan orde Baru, kekuatan Partai Islam di tingkat nasional
memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Pada masa
reformasi terjadi perubahan
yang besar dalam cara pandang para politisi Islam mengenai hubungan negara
dengan agama (Islam). Partai islam di Indonesia telah melakukan kontribusi yang
sangat berpengaruh bagi dunia politik Indonesia.
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, para pembaca dapat
memahami dan mengaplikasikan agama dalam seluruh aspek kehidupan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Masyumi
Noer,Deliar.1980.The Movement In
Indonesia 1900-1942.Jakarta:PT
Pustaka
LP3ES Indonesia.
Rais,M.Amien.1996.Islam di
Indonesia.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar