Senin, 30 Maret 2015

Respon Pemerintah Thailand Terhadap Agama Islam di Thailand

Tugas Makalah                                                                     Dosen Pembimbing
SIAT                                                                                       M. Fahli Zatra Hadi

Respon Pemerintah Thailand Terhadap Agama Islam di Thailand



Disusun Oleh :
ANISYAH
AGUNG KURNIAWAN



JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
2015/2016



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah SIAT “Respon Pemerintah Thailand Terhadap Agama Islam di Thailand”. Sholawat beserta salam kita hadiahkan kepada nabi Muhammad SAW yang mana telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah ke zaman berilmu pengetahuan seperti saat ini.
Dan tak lupa pula ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen pengajar mata kuliah SIAT yaitu Bapak M. FAHLI ZATRA HADI. Penulis menyadari  bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan , maka dari itu kritik dan saran sangat diharapkan penulis untuk kesempurnaan tugas ini dan semoga bermanfaat.




Pekanbaru , Maret 2015
Penulis




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.     Tujuan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Kebijakan Pemerintah Terhadap Muslim Thailand............................ 2
B.     Problem-Problem Muslim di Thailand................................................ 6
C.     Kebijakan Pemerintah Terhadap Perkembangan Kotemporer Muslim  Thailand...... 8

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan......................................................................................... 12
B.     Saran................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang

       Jumlah penduduk Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Thailand Selatan, sekitar 1,5 juta jiwa atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Nala, Naratiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan.
      
       Thailand selatan terdiri atas lima provinsi : Pattani, Yala, Naratiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terhadap di empat provinsi: Pattani, Yala, Naratiwat, dan Satun, yaitu sekitar 71% di perkotaan, dan 86% (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19% minoritas, dan 76.6% Budha.

       Selama masa integrasi Pattani, istilah untuk keempat provinsi yang mayoritas Muslim, masyarakat Thai Budhhist mendapat khusus dari pemerintah. Karena mereka selalu mendominasi sebagai pemimpin utama lembaga-lembaga pemerintah Thailand Selatan.
             
B.       Rumusan Masalah
       Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah Thailand terhadap perkembangan Muslim Thailand?
C.      Tujuan
       Agar mengetahui pengaruh kebijakan pemerintah terhadap pekembangan Muslim Thailand.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kebijakan Pemerintah Terhadap Muslim Thailand
            Secara kultural, bagi dari segi agama, bahasa dan buadaya, minoritas Muslim Muangthai yang tinggal di Thailand Selatan merupakan bagian dari bangsa melayu, yang secara geografis berbatasan dengan negara-negara Melayu Malaysia. Namun dalam segi politik, mereka merupakan bagian dari bangsa Muangthai.
          Sebenarnya, Muslim Thailand lebih memilih memisahkan diri dari kerajaan Muangthai atau bergabung dengan Malaysia, meskipun berada dibawah pemerintahan Inggris, karena mereka dapat hidup bersama dengan masyarakat yang seagama, sebahasa, dan sebudaya. Dibawah pemerintahan Muangthai yang menganut agama Budha sebagai agama resmi negara, mereka merasa diperlakukan tidak adil sebagai minoritas. Disamping itu mereka terisolasi dan birokrasi negara, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan agama, bahasa dan kebudayaan. Sehingga asimilasi dan integrasi yang diharapkan pemerintah menjadi sulit tercapai. Kaum Muslim Thailand sebaliknya terkesan cenderung mengisolasi diri, hal itu karena mengalami kesulitan beradaptasi. Pertama, karena kebanyakan mereka (terutama yang tinggal di daerah rural  seperti Pattani,Yala, Naratiwat) hanya dapat berbicara sedikit bahasa Thai atau tidak bisa sama sekali. Ini membuat mereka tidak mampu berkomunikasi dengan kaum Cina dan Thai Budha. Kedua , berdasarkan keyakinan agama, kaum Muslim Thailand secara militan menolak perilaku sosial yang berkaitan dengan kedua kelompok tersebut. Mislanya mereka tidak diperbolehkan menghadiri perayaan agama lain atau menikah dengan penganut agama lain. Ketiga, ketakutan Muslim Thailand bahwa interaksi dengan Thai Budhis akan mengakibatkan anak-anak mereka menerima budaya Thai, melalui proses asimilasi dan berakibat mengikis tradisi Melayu serta nilai-nilai ajaran agama Islam.
          Selain itu , proses isolasi terhadap kaum Muslim Thai, sebagian disebabkan oleh self impossed, sebagian juga diseabkan oleh tekanan orientasi komunikasi media.  melayani pemirsa native speaking Thai. Siaran banyak menggunakanbahasa Thai dan memfokuskan diri pada soal-soal yang menjadi kepentingan populus Thai Budhist dan Cina. Sangat sedikit program dan waktu siaran dalam bahasa Melayu. Siaran Radio Bangkok yang juga jelas diterima di propvinsi-provinsi tersebut, hanya menggunakan bahasa Thai, dan tidak menggunakan bahasa Melayu sama sekali. Lebih dari itu surat kabar juga dicetak dalam huruf dan bahasa Thai,  kecuali koran lokal, ada kolom yang menggunakan bahsa Melayu. Kebanyakan Muslim Thai justru mendengarkan siaran atau membaca koran yang datang dari negara tetangga dekatnya Malaysia. Oleh karena itu, bahasa Melayu mereka justru bertambah bagus, selain Inggris. Secara umum, kaum Muslimin dibagian Selatan Thailand tetap merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah dan pengaturan administrasi diwilayah  mereka.
          Perasaa terasing dan ketidakpuasaan itu semakin kuat ketika kaum bangsawan Pattani dicopot dari semua kekuasaannya, dan semua jabatan yang dulu mereka pegang dialihkan ke biroktrat Bangkokatau dari provinsi-provinsi utara, yang memiliki bahasa, agama, dan budaya yang berbeda dari masyarakat Pattani.
          Karena itu, yang menjadi persoalan bagi minoritas Muslim adalah bagaimana mereka seharusnya berpartisipasi dalam proses politik sebuah negara yang didasarkan atas kosmologi Budhist, birokrasi yang mewakili negara didominasi oleh orang Thai-Budhis dari segi bentuk dan isinya, yang paling penting adalah bahwa birokrasi memiliki kekuasaan untuk mengubah nilai-nilai dan lembaga-lembaga sosial budaya, termasuk nilai-nilai keagamaan untuk disesuaikan dengan kebutuhan negara.
          Pada masa pemerintahan Pemerintahan Perdana Mentri Phibul Songkhram (1938-1944) dan (1947-1957) , misalnya dikeluarkan kebijakan dan program integrasi pemerintahan Muangthai yang sangat mengkhawatirkan rakyat Muslim Patani. Sebagai seorang diktator,  Phibul Songkhram berusaha men-Siamkan semua kelompok minoritas non-Budhis di Muangthai. Pada tahun 1940 mulai diberlakukan dan dipaksakan aturan-aturan kultural tertentu, seperti memakai pakaian bergaya Barat, mengadopsi nama-nama Thai bila ingin memasuki sekolah-sekolah pemerintah atau jika ingin melamar pekerjaan dijajaran pemerintahan. Bahasa Melayu dilarang diajarkan disekolah-sekolah negeri atau digunakan dalam percakapan dengan para pejabat pemerintah.
          Kebijakan Phibul diatas, didukung oleh sistem politik yang berlaku di Muangthai, dimana otoritas penguas bersifat absolut, tidak dapat diganggu gugat. Penguasa cenderung menggunakan berbagai cara untuk menjamin kesesuaian dengan kelompok minorias dan mengontrol setiap contervailing power. Sistem seperti ini berlaku dalam sistem pemerintahan Muangthai yang dikenal dengan “politik birokrasi” yang berarti kuatnya kontrol pemerintah terhadap kehidupan rakyat. Kebijakan yang dipaksakan ini justru mempertegas identitas mereka untuk menentang.
          Pada periode selanjutnya, pemerintah Thai mencabut beberapa kebijakan ekstrem khusunya maklumat Ratthanayom dari rezim lama dan menunjukkan sikap politik terhadap kaum Muslimin, seperti memberikan kebebasan kepada minoritas Muslim untuk menjalankan agamanya. Cara ini berhasil membuat masyarakat Muslim mau terbuka dan mau menggandeng sesama Muslim untuk berperan dalam pembangunan nasional Muangthai. Berpartisipasi Muslim Melayu dalam sistem politik dan sebagai warga negara Muangthai mulai tumbuh sejak bangkitnya demokrasi pada tahun 1979.
          Kaum muslim di Muangthai terpecah menjadi empat kelompok, yaitu Chularajmontri (kepala kantor masyarakat muslim di Muangthai), kelompok ortodok yang menerbitkan Al-Rabith, dan kelompok Muslim Melayu di selatan yang menentang kelompok Chularajmontri, namun menolak dikatakan sebagai rival Al-jihad dan AL-Rabith. Semua kelompok ini meskipun terpecah karena perbedaan kepentingan, namun sama-sama memiliki komitmen terhadap Islam.
          Minoritas Muslim Thailand merasa tidak senang dengan intervensi pemerintah yang sangat dalam terhadap kehidupan keagamaan dan sosial budaya mereka. Disamping itu, kaum Muslim Muangthai banyak yang beranggapan bahwa kewarganegaraan mereka tidak mungkin diselaraskan dengan ketaatan terhadap Islam. Hal ini memperteguh gerakan-gerakan separatis Muslim yang gigih melakukan perang gerilya melawan kekuatan-kekuatan pemerintah Muangthai. Kaum separatis ini menginginkan kemerdekaan meskipun sebagian lebih meyukai suatu perserikatan dengan Malaysia. Namun kenyatraannya, wilayah mereka secara internasional diakui sebagai bagian dari wilayah nasional Thailand. Kecil kemungkinan bagi kaum separatis ini untuk dapat benar-benar memisahkan wilayah Muslim Patani dari Muangthai. Tujuan pertama gerakan minoritas Muslim ini adalah membebasan Melayu Muslim Patani dari kekuasaan Muangthai dan bersatu dengan Malaysia. Tetapi tujuan ini sulit untuk dicapai. Kemudian tujuan perjuangan mereka diubah, yaitu untuk mendapatkan otonoi dibidang polotik dan kebudayaan dengan harapan dapat menegakkan Islam dikalangan Melayu Muslim Patani.
          Penentangan serius terjadi pada tahun 1947 ketika Haji Sulong, seorang pemimpin Muslim dan Presiden Dewan Agama Islam, bersama dengan beberapa pemimpin Muslim lainnya menandatangani petisi menuntut otonomi penuh, penerimaan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi disamping bahasa Thai, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di Sekolah Dasar wilayah tersebut, penerapan Hukum Islam bagi kaum Muslim, merekrut kaum Muslim di provinsi-provinsi yang dikuasai Muslim dengan komposisi 80%, dan membentuk Dewan Muslim yang khusus mengurusi persoalan-persoalan spesifik kaum Muslim. Petisi ini ditolak pemerintah, dan Haji Sulong ditangkap tahun 1948. Satu tahun kemudian, dia dipenjarakan selama 7 tahun, namun dibebaskan setelah mendekam selama tiga setengah tahun. Pada tahun yang sama, pemerintah berusaha menarik kembali perhatian masyarakat Muslim dengan menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur sekolah, membantu pembangunan mesjid-mesjid, memberlakukan hukum Islam, memperkenalkan bahasa dan budaya Melayu sebagai mata pelajaran di Sekolah Menengah. Pada saat yang sama juga mengalir kewajiban bagi setiap siswa untuk mempelajari etika Budha di sekolah pada wilayah tersebut, dan mengangkat seorang pejabat Muslim untuk membantu pemerintah melayani persoalan-persoalan Islam. Namun, kebijakan itu tidak pernah dipelihara dan tidak konsisten.
            Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, baik pemisahan diri dari kerajaan Thai maupun otonomi penuh, kelompok minoritas Muslim Thailand bergabung dengan kelompok organisasi seperti Pattani United Liberation Organization (PULO), Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP), Barisa Revolusi Nasional dan masih ada lagi organisasi lainnya. Keinginan untuk memisahkan diri dari kerajaan Thai dikarenakan kaum Muslim melihat adanya keengganan pemerintah untuk memberikan kebebasan dalam mengamalkan ajaran agamanya dan  mengungkapkan aspirasi budaya mereka. Hal ini dimaknai kaum Muslim sebagai penjauhan mereka dari agamanya dan pelumpuhan budaya umat Islam. Selain itu tindakan birokrat lokal yang tidak simpatik seringkali menimbulkan banyak kesulitan.

B.     Problem- problem muslim di Thailand
Konflik yang terjadi di Thailand Selatan adalah konflik yang terjadi karena pertarungan muslim melayu dengan Budhis Thai. Hal ini tidak lepas dari fakta yang ada. Bawasannya sebagian besar masyarakat di daerah Thailand Selatan khususnya di daerah Pattani adalah orang melayu muslim. Hal ini telah melahirkan problem yang harus di atasi oleh umat muslim Thailand.
           
Politik keamanan dan sosial
            Dinamika politik, kemanan dan sosial telah menumbuhkan gerakan di tingkat lokal di Thailand selatan, khususnya di tiga provinsi yaitu Narathiwat, Yala, dan Pattani. Diantaranya adalah barisan revolusi nasional (BRN). Pattani united leberation organisation (PULO). Dan gerakan mujahidin islam pattani (GMIP). BRN menuntut pemisahan diri dengan idiologi sosialis, dan berkerja sama dengan partai komunis melayu di perbatasan pada tahun 1950 an. Sementara PULO adalah gerakan separatis yang menuntut wilayah pattani –sebutan untuk provinsi Narathiwat.
            Ekonomi
Sampai abad ke – 19 kehidupan ekonomi pattani sangat bergantung pada kegiatan ekonomi subsisten, seperti pertanian padi, penangkapan ikan dan pertambangan, dan perdagangan eceran. Berbagai cara pembaharuan dan dan pemusatan pemerintah yang dilakukan raja Chulalongkorn, terutama sejak 1890 an, membuat pendatang Siam dan pendatang Cina semakin menguasai kendali ekonomi Thailand termasuk juga Pattani.
            Munculnya usaha pertambangan dan perkebunan karen yang di modali non-muslin sejak awal abad ke- 20 ternyata tidak banyak mengubah struktur ekonomi lokal. Masyarakat muslim pattani harus puas sebagai pekerja rendahan, seperti penyadap karet dan buruh kasar. Bahkan peluang ekonomi yang baru muncul juga tetap meletakan posisi mereka di kurang menguntungkan.
            Pendidikan
            Lembaga pendidikan Islam tidak banyak memberikan harapan, meski telah bertahun-tahun minoritas Muslim berjuang untuk mengaspirasikan keagamaannya kepada pemerintah. Pondok  pesantren yang dulu yang berfungsi sebagai identitas dan pertahanan Islam dalam melawan pemerintah pusat, saat ini diubah menjadi sekolah agama modern.
C.  Kebijakan Pemerintah Terhadap Perkembangan Kotemporer Muslim Thailand
            Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antra pihak kerajaan Thai dengan masyarakat Melayu Muslim tampak membaik. Putera mahkota kerajaan sering berkunjung ke provinsi-provinsi yang berbatasan dengan Malaysia itu. Pembangunan jalan dan gedung-gedung sekolah menandai adanya perhatian serius dari pihak kerajaan. Sejak tahun 1990-an mereka mulai mendapat kebebasan dalam menjalankan syariat Islam. Namun, keinginan untuk memberlakukan hukum Islam diwilayah itu masih diperjuangkan.
            Hubungan pemerintah Melayu Muslim yang mulai membaik ini tak dapat dipisahkahkan dari demokrasi yang semakin membaik di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Thailand. Seperti dikemukakan Abdul Rozak, seorang tokoh Patani, bahwa perubahan sikap pemerintah Thailand itu lebih karena tekanan internasional yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, meski pemerintah mencoba memperbaiki hubungannya dengan Melayu Muslim mereka masih belum bisa menghilangkan trauma masa lalunya, terutaa kalangan generasi tua. “kami masih ingat beberapa tahun yang lalu untuk memakai kopiah dan sarung saja tidak diperbolehkan. Dan sehari-hari kami diharuskan menggunakan bahasa Thai”. Ujar seorang bapak di Naratiwat mengenang masa lalu yang pahit. Kuatnya kesadaran akan masa lalu yang pahit, membuat Melayu Muslim ini tetap menjaga jarak dengan pemerintah Thailand. Hal ini antara lain terindikasi dari cara mereka yang menjaga kemandirian finansial lembaga pendidikan tradisional pesantren. Dengan menolak menerima bantuan pemerintah mereka bisa terbebas dari sikap pemerintah untuk mendikte mereka.
            Konflik di Thailand Selatan sangat kental dengan nilai-nilai agama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Budhis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Budhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing masyarakat. Apabila dilihat lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan memang sangat kuat. Masyarakat yang khusunya di tiga provinsi : Pattani, Yala, dan Naratiwat memiliki identitas keIslaman dan keMelayuan yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lebih menerima dengan orang Melayu daripada etnis lain, terutama Thai. Penggunaan bahas Melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi ini diatas 70% dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan : Satun dan Songkhla. Tetapi bahasa Melayu tidak diberbolehkan sebagai bahasa resmi diperkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu, karena bahasa ini memberi spirit identitas mereka yang berbeda dengan mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
            Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 200 orang meninggal berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap Muslim. Pada tahun 2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah karena dididrikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada khalifah Abbasiyah. Peristiwa kedua adalah pada oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal diperjalanan, setelah mereka demontrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam kondisi terikat tangan dibelakang. Dua peristiwa sangat membekas dihati Muslim, dan banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin meningkatkan penyerangan terhadap berbagai organ pemerintah maupun nmasyarakat Budha. Reaksi Muslim Selatan ini di respon negarif oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi ini.
            Peristiwa Takbai yang menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbukan reaksi paling keras dari milisi Muslim, yang kemudian membalas dengan penembakan dan pembomam yang misterius yang menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis Cina dan pendeta Budha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban di pihak tentara atau Budha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika Serikat yang menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari Selatan.
            Pada Februari 2004, Organisasi Konferensi Islam (OKI) minta pemerintah Thailand untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap warga Muslim di wilayah Selatan Thailand. Seruan ini menjadi salah satu point dalam pernyataan hasil pertemuan di Jeddah antara Sekretaris Jendral OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dan perdana menteri Malaysia Abdullah Badawi, yang mengetuai Konferensi Tingkat Tinggi Islam ke-10.
            Prof. Ihsanoglu mengungkapkan rasa ketidakpuasannya, karena tindak kekerasan terhadap warga Muslim di Thailand masih terus terjadi meskipun OKI dan dunia Internasional sudah mendesak pemerintah Thailand untuk segera mengakhirinya. Sekjen OKI itu kembali mengingatkan Thailand pentingnya menegakkan keadilan dan investigasi atas kasus-kasus kekerasan terhadap warga Muslim. Ihsanoglu juga menekankan agar pemerintah Thailand tidak bersikap diskriminasi dalam hal pembangunan ekonomi dan sosial diwilayah Selatan Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
            Upaya rekonsiliasi telah dilakukan oleh pemerintah pusat dalam lima tahun terakhir, dengan terbentuknya komisi rekonsiliasi nasional yang mengantarkan dan memediasi perdamaian di Selatan. Kuatnya peran tentara di Thailand, membuat banyak rekomendasi komisi tidak bisa  di jalankan. Pendidikan, pekerjaan dan fasilitas pemerintah lainnya tetap saja tidak leluasa dinikmati bagi Muslim Melayu. Persyaratan pemakaian ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme pro kebijakan pusat menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi rekonsiliasi. Kehadiran masyarakat internasional, antara lain : Nahdhatul Ulama yang menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah Thailand akan banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi gagasan dan harapan Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka, dAan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Patani,Yala, Naratiwat.
            Sementara itu, Partai Demokrat yang menekankan persatuan kuat negara Thailand tidak berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan, khusunya mendukung kepentingan Muslim. Kritik ini tentu penting diperhatikan oleh pihak politisi, yang memainkan isu Selatan untuk kepentingan mereka. Partai Thai Rak Thai yang dalam periode Thaksin memenangi parlemen secara sengaja meninggalkan Selatan dalam proses pembangunan dan modernisasi Thailand secara umum. Bahkan membiarkan kerusuhan di Selatan. Sejak tahun 2004, kekerasan di Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Islam telah menewaskan 2.200 orang. Kerusuhan yang muncul dipelihara oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Diantara mereka adalah aparat pemerintah.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

       Dengan demikian dapat disimpulkan, tumbuhnya sikap anti pemerintah pusatyang dilakkan oleh Musim di Selatan Thailand diakibatkan banyak hal. Kesenjangan ekonomi menjadi kunci atas terus berlangsungnya gerakan ‘separatisme’ atau dalam istilah David Brown sebagai ‘separatisme etnis’ atas dominasi kolonialisme internal Thailand. Kesenjangan ini berlangsung puluhan tahun. Akibatnya, masyarakat Muslim yang mendapat tekanan politis dan keamanan dari pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sebagian dari mereka secara diam-diam mendukung gerakan anti-pemerintah. Bahkan beberapa di antara mereka aktif terlibat dalam aksi kekerasan.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan sumbangan kritik dan saran untuk membangun kesempurnaan makalah ini dan semoga bermanfaat.




DAFTAR PUSTAKA
Hall, D.G.E.,Sejarah Asia Tenggara.-. Surabaya:Usaha Nasional
Hanafi,Imam.Sejarah Islam Asia Tenggara. 2006. Riau : -
Helmiati,Dr. Dinamika Islam Asia Tenggara .2008. Pekanbaru:Suska Press
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. 2008. Bandung:Pustaka Setia








4 komentar:

  1. Assalamualaikum... Maaf ya SOBAT saya mau jujur bahwa awalnya saya hanya mencoba-coba bermain togel karna saya terlilit hutang yang sangat banyak sekitar Rp 235 juta karna hutang saya banyak akhirnya saya mencari jalan pintas meskipun itu dilarang agama islam apa boleh buat nasi sudah jadi bubur dan akhirnya saya menemukan seorang dukun yang bisa membantu saya melalui jalan togel dengan lantaran bantuan MBAH WIRANG kehidupan saya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya karna itu semua berkat bantuan MBAH WIRANG dengan waktu yang singkat saya sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup kita menjadi kaya, buktinya angka pemberian MBAH 4D nya pada tanggal 23/10/2016 yaitu 9512 tembus alhamdulillah saya menang sebanyak Rp.480 juta dan alhamdulillah semua hutang-hutang saya sudah bisa terlunasih juga... Mungkin saudara/saudari diluar sana lagi butuh angka togel 2D|3D|4D silahkan konsultasi atau minta bantuan dengan MBAH WIRANG jangan takut anda bisa hubungi di nomer ( 082346667564 / +6282346667564 )

    Tetap Semangat Semua Permasalahan Pasti Ada Jalan KeluarNya...

    BalasHapus
  2. Astaghfirullah , kalian semua sesat , bertobatlah

    BalasHapus

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com