Tugas Makalah Dosen
Pembimbing
SIAT M.
Fahli Zatra Hadi
Respon
Pemerintah Thailand Terhadap Agama Islam di Thailand
Disusun Oleh :
ANISYAH
AGUNG KURNIAWAN
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN
ILMU KOMUNIKASI
2015/2016
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah SIAT “Respon Pemerintah
Thailand Terhadap Agama Islam di Thailand”. Sholawat beserta salam kita
hadiahkan kepada nabi Muhammad SAW yang mana telah membawa umatnya dari zaman
jahiliyah ke zaman berilmu pengetahuan seperti saat ini.
Dan
tak lupa pula ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen pengajar mata
kuliah SIAT yaitu Bapak M. FAHLI ZATRA HADI. Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan , maka dari itu kritik dan saran sangat diharapkan penulis untuk
kesempurnaan tugas ini dan semoga bermanfaat.
Pekanbaru
, Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kebijakan
Pemerintah Terhadap Muslim Thailand............................ 2
B. Problem-Problem Muslim di Thailand................................................ 6
C. Kebijakan
Pemerintah Terhadap Perkembangan Kotemporer Muslim Thailand...... 8
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 12
B. Saran................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jumlah penduduk Muslim
di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen.
Mayoritas Muslim tinggal di Thailand Selatan, sekitar 1,5 juta jiwa atau 80
persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Nala, Naratiwat, tiga provinsi
yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan.
Thailand selatan terdiri atas lima
provinsi : Pattani, Yala, Naratiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk
6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk
Muslim terhadap di empat provinsi: Pattani, Yala, Naratiwat, dan Satun, yaitu
sekitar 71% di perkotaan, dan 86% (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla,
Muslim sekitar 19% minoritas, dan 76.6% Budha.
Selama masa integrasi Pattani, istilah
untuk keempat provinsi yang mayoritas Muslim, masyarakat Thai Budhhist mendapat
khusus dari pemerintah. Karena mereka selalu mendominasi sebagai pemimpin utama
lembaga-lembaga pemerintah Thailand Selatan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah
Thailand terhadap perkembangan Muslim Thailand?
C. Tujuan
Agar mengetahui pengaruh kebijakan
pemerintah terhadap pekembangan Muslim Thailand.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan
Pemerintah Terhadap Muslim Thailand
Secara kultural,
bagi dari segi agama, bahasa dan buadaya, minoritas Muslim Muangthai yang
tinggal di Thailand Selatan merupakan bagian dari bangsa melayu, yang secara
geografis berbatasan dengan negara-negara Melayu Malaysia. Namun dalam segi
politik, mereka merupakan bagian dari bangsa Muangthai.
Sebenarnya, Muslim Thailand lebih
memilih memisahkan diri dari kerajaan Muangthai atau bergabung dengan Malaysia,
meskipun berada dibawah pemerintahan Inggris, karena mereka dapat hidup bersama
dengan masyarakat yang seagama, sebahasa, dan sebudaya. Dibawah pemerintahan
Muangthai yang menganut agama Budha sebagai agama resmi negara, mereka merasa
diperlakukan tidak adil sebagai minoritas. Disamping itu mereka terisolasi dan
birokrasi negara, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan agama, bahasa dan
kebudayaan. Sehingga asimilasi dan integrasi yang diharapkan pemerintah menjadi
sulit tercapai. Kaum Muslim Thailand sebaliknya terkesan cenderung mengisolasi
diri, hal itu karena mengalami kesulitan beradaptasi. Pertama, karena
kebanyakan mereka (terutama yang tinggal di daerah rural seperti Pattani,Yala, Naratiwat) hanya dapat
berbicara sedikit bahasa Thai atau tidak bisa sama sekali. Ini membuat mereka
tidak mampu berkomunikasi dengan kaum Cina dan Thai Budha. Kedua ,
berdasarkan keyakinan agama, kaum Muslim Thailand secara militan menolak perilaku
sosial yang berkaitan dengan kedua kelompok tersebut. Mislanya mereka tidak
diperbolehkan menghadiri perayaan agama lain atau menikah dengan penganut agama
lain. Ketiga, ketakutan Muslim Thailand bahwa interaksi dengan Thai
Budhis akan mengakibatkan anak-anak mereka menerima budaya Thai, melalui proses
asimilasi dan berakibat mengikis tradisi Melayu serta nilai-nilai ajaran agama
Islam.
Selain itu , proses isolasi terhadap
kaum Muslim Thai, sebagian disebabkan oleh self impossed, sebagian juga
diseabkan oleh tekanan orientasi komunikasi media. melayani pemirsa native speaking Thai.
Siaran banyak menggunakanbahasa Thai dan memfokuskan diri pada soal-soal yang
menjadi kepentingan populus Thai Budhist dan Cina. Sangat sedikit program dan
waktu siaran dalam bahasa Melayu. Siaran Radio Bangkok yang juga jelas diterima
di propvinsi-provinsi tersebut, hanya menggunakan bahasa Thai, dan tidak
menggunakan bahasa Melayu sama sekali. Lebih dari itu surat kabar juga dicetak
dalam huruf dan bahasa Thai, kecuali
koran lokal, ada kolom yang menggunakan bahsa Melayu. Kebanyakan Muslim Thai justru
mendengarkan siaran atau membaca koran yang datang dari negara tetangga
dekatnya Malaysia. Oleh karena itu, bahasa Melayu mereka justru bertambah
bagus, selain Inggris. Secara umum, kaum Muslimin dibagian Selatan Thailand
tetap merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah dan pengaturan administrasi
diwilayah mereka.
Perasaa terasing dan ketidakpuasaan
itu semakin kuat ketika kaum bangsawan Pattani dicopot dari semua kekuasaannya,
dan semua jabatan yang dulu mereka pegang dialihkan ke biroktrat Bangkokatau
dari provinsi-provinsi utara, yang memiliki bahasa, agama, dan budaya yang
berbeda dari masyarakat Pattani.
Karena itu, yang menjadi persoalan
bagi minoritas Muslim adalah bagaimana mereka seharusnya berpartisipasi dalam
proses politik sebuah negara yang didasarkan atas kosmologi Budhist, birokrasi
yang mewakili negara didominasi oleh orang Thai-Budhis dari segi bentuk dan
isinya, yang paling penting adalah bahwa birokrasi memiliki kekuasaan untuk
mengubah nilai-nilai dan lembaga-lembaga sosial budaya, termasuk nilai-nilai
keagamaan untuk disesuaikan dengan kebutuhan negara.
Pada masa pemerintahan Pemerintahan
Perdana Mentri Phibul Songkhram (1938-1944) dan (1947-1957) , misalnya
dikeluarkan kebijakan dan program integrasi pemerintahan Muangthai yang sangat
mengkhawatirkan rakyat Muslim Patani. Sebagai seorang diktator, Phibul Songkhram berusaha men-Siamkan semua
kelompok minoritas non-Budhis di Muangthai. Pada tahun 1940 mulai diberlakukan
dan dipaksakan aturan-aturan kultural tertentu, seperti memakai pakaian bergaya
Barat, mengadopsi nama-nama Thai bila ingin memasuki sekolah-sekolah pemerintah
atau jika ingin melamar pekerjaan dijajaran pemerintahan. Bahasa Melayu
dilarang diajarkan disekolah-sekolah negeri atau digunakan dalam percakapan
dengan para pejabat pemerintah.
Kebijakan Phibul diatas, didukung oleh
sistem politik yang berlaku di Muangthai, dimana otoritas penguas bersifat
absolut, tidak dapat diganggu gugat. Penguasa cenderung menggunakan berbagai
cara untuk menjamin kesesuaian dengan kelompok minorias dan mengontrol setiap contervailing
power. Sistem seperti ini berlaku dalam sistem pemerintahan Muangthai yang
dikenal dengan “politik birokrasi” yang berarti kuatnya kontrol pemerintah
terhadap kehidupan rakyat. Kebijakan yang dipaksakan ini justru mempertegas
identitas mereka untuk menentang.
Pada periode selanjutnya, pemerintah
Thai mencabut beberapa kebijakan ekstrem khusunya maklumat Ratthanayom dari rezim
lama dan menunjukkan sikap politik terhadap kaum Muslimin, seperti memberikan kebebasan
kepada minoritas Muslim untuk menjalankan agamanya. Cara ini berhasil membuat
masyarakat Muslim mau terbuka dan mau menggandeng sesama Muslim untuk berperan
dalam pembangunan nasional Muangthai. Berpartisipasi Muslim Melayu dalam sistem
politik dan sebagai warga negara Muangthai mulai tumbuh sejak bangkitnya
demokrasi pada tahun 1979.
Kaum muslim di Muangthai terpecah
menjadi empat kelompok, yaitu Chularajmontri (kepala kantor masyarakat
muslim di Muangthai), kelompok ortodok yang menerbitkan Al-Rabith, dan
kelompok Muslim Melayu di selatan yang menentang kelompok Chularajmontri,
namun menolak dikatakan sebagai rival Al-jihad dan AL-Rabith. Semua
kelompok ini meskipun terpecah karena perbedaan kepentingan, namun sama-sama
memiliki komitmen terhadap Islam.
Minoritas Muslim Thailand merasa tidak
senang dengan intervensi pemerintah yang sangat dalam terhadap kehidupan
keagamaan dan sosial budaya mereka. Disamping itu, kaum Muslim Muangthai banyak
yang beranggapan bahwa kewarganegaraan mereka tidak mungkin diselaraskan dengan
ketaatan terhadap Islam. Hal ini memperteguh gerakan-gerakan separatis Muslim
yang gigih melakukan perang gerilya melawan kekuatan-kekuatan pemerintah
Muangthai. Kaum separatis ini menginginkan kemerdekaan meskipun sebagian lebih meyukai
suatu perserikatan dengan Malaysia. Namun kenyatraannya, wilayah mereka secara
internasional diakui sebagai bagian dari wilayah nasional Thailand. Kecil
kemungkinan bagi kaum separatis ini untuk dapat benar-benar memisahkan wilayah
Muslim Patani dari Muangthai. Tujuan pertama gerakan minoritas Muslim ini
adalah membebasan Melayu Muslim Patani dari kekuasaan Muangthai dan bersatu
dengan Malaysia. Tetapi tujuan ini sulit untuk dicapai. Kemudian tujuan
perjuangan mereka diubah, yaitu untuk mendapatkan otonoi dibidang polotik dan
kebudayaan dengan harapan dapat menegakkan Islam dikalangan Melayu Muslim
Patani.
Penentangan serius terjadi pada tahun
1947 ketika Haji Sulong, seorang pemimpin Muslim dan Presiden Dewan Agama
Islam, bersama dengan beberapa pemimpin Muslim lainnya menandatangani petisi
menuntut otonomi penuh, penerimaan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi disamping
bahasa Thai, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di Sekolah Dasar
wilayah tersebut, penerapan Hukum Islam bagi kaum Muslim, merekrut kaum Muslim
di provinsi-provinsi yang dikuasai Muslim dengan komposisi 80%, dan membentuk
Dewan Muslim yang khusus mengurusi persoalan-persoalan spesifik kaum Muslim.
Petisi ini ditolak pemerintah, dan Haji Sulong ditangkap tahun 1948. Satu tahun
kemudian, dia dipenjarakan selama 7 tahun, namun dibebaskan setelah mendekam
selama tiga setengah tahun. Pada tahun yang sama, pemerintah berusaha menarik
kembali perhatian masyarakat Muslim dengan menjadikan hari Jum’at sebagai hari
libur sekolah, membantu pembangunan mesjid-mesjid, memberlakukan hukum Islam,
memperkenalkan bahasa dan budaya Melayu sebagai mata pelajaran di Sekolah
Menengah. Pada saat yang sama juga mengalir kewajiban bagi setiap siswa untuk
mempelajari etika Budha di sekolah pada wilayah tersebut, dan mengangkat
seorang pejabat Muslim untuk membantu pemerintah melayani persoalan-persoalan
Islam. Namun, kebijakan itu tidak pernah dipelihara dan tidak konsisten.
Dalam rangka mewujudkan
cita-citanya, baik pemisahan diri dari kerajaan Thai maupun otonomi penuh,
kelompok minoritas Muslim Thailand bergabung dengan kelompok organisasi seperti
Pattani United Liberation Organization (PULO), Barisan Nasional
Pembebasan Patani (BNPP), Barisa Revolusi Nasional dan masih ada lagi
organisasi lainnya. Keinginan untuk memisahkan diri dari kerajaan Thai
dikarenakan kaum Muslim melihat adanya keengganan pemerintah untuk memberikan
kebebasan dalam mengamalkan ajaran agamanya dan
mengungkapkan aspirasi budaya mereka. Hal ini dimaknai kaum Muslim
sebagai penjauhan mereka dari agamanya dan pelumpuhan budaya umat Islam. Selain
itu tindakan birokrat lokal yang tidak simpatik seringkali menimbulkan banyak
kesulitan.
B.
Problem- problem muslim di Thailand
Konflik yang terjadi di Thailand Selatan adalah konflik yang
terjadi karena pertarungan muslim melayu dengan Budhis Thai. Hal ini tidak
lepas dari fakta yang ada. Bawasannya sebagian besar masyarakat di daerah
Thailand Selatan khususnya di daerah Pattani adalah orang melayu muslim. Hal
ini telah melahirkan problem yang harus di atasi oleh umat muslim Thailand.
Politik keamanan dan sosial
Dinamika politik,
kemanan dan sosial telah menumbuhkan gerakan di tingkat lokal di Thailand
selatan, khususnya di tiga provinsi yaitu Narathiwat, Yala, dan Pattani.
Diantaranya adalah barisan revolusi nasional (BRN). Pattani united leberation
organisation (PULO). Dan gerakan mujahidin islam pattani (GMIP). BRN menuntut
pemisahan diri dengan idiologi sosialis, dan berkerja sama dengan partai
komunis melayu di perbatasan pada tahun 1950 an. Sementara PULO adalah gerakan
separatis yang menuntut wilayah pattani –sebutan untuk provinsi Narathiwat.
Ekonomi
Sampai abad ke – 19 kehidupan ekonomi pattani sangat bergantung
pada kegiatan ekonomi subsisten, seperti pertanian padi, penangkapan ikan dan
pertambangan, dan perdagangan eceran. Berbagai cara pembaharuan dan dan
pemusatan pemerintah yang dilakukan raja Chulalongkorn, terutama sejak 1890 an,
membuat pendatang Siam dan pendatang Cina semakin menguasai kendali ekonomi
Thailand termasuk juga Pattani.
Munculnya usaha
pertambangan dan perkebunan karen yang di modali non-muslin sejak awal abad ke-
20 ternyata tidak banyak mengubah struktur ekonomi lokal. Masyarakat muslim
pattani harus puas sebagai pekerja rendahan, seperti penyadap karet dan buruh
kasar. Bahkan peluang ekonomi yang baru muncul juga tetap meletakan posisi
mereka di kurang menguntungkan.
Pendidikan
Lembaga pendidikan Islam tidak
banyak memberikan harapan, meski telah bertahun-tahun minoritas Muslim berjuang
untuk mengaspirasikan keagamaannya kepada pemerintah. Pondok pesantren yang dulu yang berfungsi sebagai
identitas dan pertahanan Islam dalam melawan pemerintah pusat, saat ini diubah
menjadi sekolah agama modern.
C.
Kebijakan
Pemerintah Terhadap Perkembangan Kotemporer Muslim Thailand
Dalam beberapa tahun terakhir,
hubungan antra pihak kerajaan Thai dengan masyarakat Melayu Muslim tampak
membaik. Putera mahkota kerajaan sering berkunjung ke provinsi-provinsi yang
berbatasan dengan Malaysia itu. Pembangunan jalan dan gedung-gedung sekolah
menandai adanya perhatian serius dari pihak kerajaan. Sejak tahun 1990-an
mereka mulai mendapat kebebasan dalam menjalankan syariat Islam. Namun,
keinginan untuk memberlakukan hukum Islam diwilayah itu masih diperjuangkan.
Hubungan pemerintah Melayu Muslim
yang mulai membaik ini tak dapat dipisahkahkan dari demokrasi yang semakin
membaik di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Thailand. Seperti
dikemukakan Abdul Rozak, seorang tokoh Patani, bahwa perubahan sikap pemerintah
Thailand itu lebih karena tekanan internasional yang berhubungan dengan Hak
Asasi Manusia (HAM). Namun, meski pemerintah mencoba memperbaiki hubungannya
dengan Melayu Muslim mereka masih belum bisa menghilangkan trauma masa lalunya,
terutaa kalangan generasi tua. “kami masih ingat beberapa tahun yang lalu untuk
memakai kopiah dan sarung saja tidak diperbolehkan. Dan sehari-hari kami diharuskan
menggunakan bahasa Thai”. Ujar seorang bapak di Naratiwat mengenang masa lalu
yang pahit. Kuatnya kesadaran akan masa lalu yang pahit, membuat Melayu Muslim
ini tetap menjaga jarak dengan pemerintah Thailand. Hal ini antara lain
terindikasi dari cara mereka yang menjaga kemandirian finansial lembaga
pendidikan tradisional pesantren. Dengan menolak menerima bantuan pemerintah
mereka bisa terbebas dari sikap pemerintah untuk mendikte mereka.
Konflik di Thailand Selatan sangat
kental dengan nilai-nilai agama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan
antara Muslim Melayu dan Budhis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Budhis’ mengarahkan
pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing masyarakat. Apabila dilihat
lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan memang sangat kuat. Masyarakat
yang khusunya di tiga provinsi : Pattani, Yala, dan Naratiwat memiliki
identitas keIslaman dan keMelayuan yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lebih
menerima dengan orang Melayu daripada etnis lain, terutama Thai. Penggunaan bahas
Melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi
ini diatas 70% dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan : Satun dan
Songkhla. Tetapi bahasa Melayu tidak diberbolehkan sebagai bahasa resmi
diperkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi
lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan bahasa
Melayu, karena bahasa ini memberi spirit identitas mereka yang berbeda dengan
mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
Dalam tiga tahun terakhir, lebih
dari 200 orang meninggal berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Korban
lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak dikenal, juga oleh
pendekatan militer dan polisi terhadap Muslim. Pada tahun 2004, 30 pemuda
Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah
karena dididrikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan
masa kejayaan Islam pada khalifah Abbasiyah. Peristiwa kedua adalah pada
oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal diperjalanan, setelah mereka
demontrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam kondisi terikat
tangan dibelakang. Dua peristiwa sangat membekas dihati Muslim, dan banyak
pemuda dan masyarakat Muslim semakin meningkatkan penyerangan terhadap berbagai
organ pemerintah maupun nmasyarakat Budha. Reaksi Muslim Selatan ini di respon
negarif oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima
provinsi ini.
Peristiwa Takbai yang menewaskan
Muslim sekitar 200 orang menimbukan reaksi paling keras dari milisi Muslim,
yang kemudian membalas dengan penembakan dan pembomam yang misterius yang
menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis Cina dan
pendeta Budha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban di
pihak tentara atau Budha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika
Serikat yang menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari
Selatan.
Pada Februari 2004, Organisasi
Konferensi Islam (OKI) minta pemerintah Thailand untuk mengakhiri tindak
kekerasan terhadap warga Muslim di wilayah Selatan Thailand. Seruan ini menjadi
salah satu point dalam pernyataan hasil pertemuan di Jeddah antara Sekretaris
Jendral OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dan perdana menteri Malaysia Abdullah Badawi,
yang mengetuai Konferensi Tingkat Tinggi Islam ke-10.
Prof. Ihsanoglu mengungkapkan rasa
ketidakpuasannya, karena tindak kekerasan terhadap warga Muslim di Thailand
masih terus terjadi meskipun OKI dan dunia Internasional sudah mendesak pemerintah
Thailand untuk segera mengakhirinya. Sekjen OKI itu kembali mengingatkan
Thailand pentingnya menegakkan keadilan dan investigasi atas kasus-kasus
kekerasan terhadap warga Muslim. Ihsanoglu juga menekankan agar pemerintah
Thailand tidak bersikap diskriminasi dalam hal pembangunan ekonomi dan sosial
diwilayah Selatan Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Upaya rekonsiliasi telah dilakukan
oleh pemerintah pusat dalam lima tahun terakhir, dengan terbentuknya komisi
rekonsiliasi nasional yang mengantarkan dan memediasi perdamaian di Selatan.
Kuatnya peran tentara di Thailand, membuat banyak rekomendasi komisi tidak
bisa di jalankan. Pendidikan, pekerjaan
dan fasilitas pemerintah lainnya tetap saja tidak leluasa dinikmati bagi Muslim
Melayu. Persyaratan pemakaian ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang
mencerminkan nasionalisme pro kebijakan pusat menjadi penghambat rekonsiliasi
yang telah dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi,
dan komisi rekonsiliasi. Kehadiran masyarakat internasional, antara lain :
Nahdhatul Ulama yang menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah
Thailand akan banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi
gagasan dan harapan Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim
Melayu lebih terbuka, dAan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini,
khususnya di Patani,Yala, Naratiwat.
Sementara itu, Partai Demokrat yang
menekankan persatuan kuat negara Thailand tidak berbuat banyak dalam perdamaian
di Selatan, khusunya mendukung kepentingan Muslim. Kritik ini tentu penting
diperhatikan oleh pihak politisi, yang memainkan isu Selatan untuk kepentingan
mereka. Partai Thai Rak Thai yang dalam periode Thaksin memenangi parlemen
secara sengaja meninggalkan Selatan dalam proses pembangunan dan modernisasi
Thailand secara umum. Bahkan membiarkan kerusuhan di Selatan. Sejak tahun 2004,
kekerasan di Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Islam telah
menewaskan 2.200 orang. Kerusuhan yang muncul dipelihara oleh kelompok tertentu
yang memiliki kepentingan. Diantara mereka adalah aparat pemerintah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan,
tumbuhnya sikap anti pemerintah pusatyang dilakkan oleh Musim di Selatan
Thailand diakibatkan banyak hal. Kesenjangan ekonomi menjadi kunci atas terus
berlangsungnya gerakan ‘separatisme’ atau dalam istilah David Brown sebagai
‘separatisme etnis’ atas dominasi kolonialisme internal Thailand. Kesenjangan
ini berlangsung puluhan tahun. Akibatnya, masyarakat Muslim yang mendapat
tekanan politis dan keamanan dari pemerintah tidak bisa berbuat banyak.
Sebagian dari mereka secara diam-diam mendukung gerakan anti-pemerintah. Bahkan
beberapa di antara mereka aktif terlibat dalam aksi kekerasan.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan
sumbangan kritik dan saran untuk membangun kesempurnaan makalah ini dan semoga
bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Hall,
D.G.E.,Sejarah Asia Tenggara.-. Surabaya:Usaha Nasional
Hanafi,Imam.Sejarah
Islam Asia Tenggara. 2006. Riau : -
Helmiati,Dr.
Dinamika Islam Asia Tenggara .2008. Pekanbaru:Suska Press
Supriyadi,
Dedi. Sejarah Peradaban Islam. 2008. Bandung:Pustaka Setia
Assalamualaikum... Maaf ya SOBAT saya mau jujur bahwa awalnya saya hanya mencoba-coba bermain togel karna saya terlilit hutang yang sangat banyak sekitar Rp 235 juta karna hutang saya banyak akhirnya saya mencari jalan pintas meskipun itu dilarang agama islam apa boleh buat nasi sudah jadi bubur dan akhirnya saya menemukan seorang dukun yang bisa membantu saya melalui jalan togel dengan lantaran bantuan MBAH WIRANG kehidupan saya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya karna itu semua berkat bantuan MBAH WIRANG dengan waktu yang singkat saya sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup kita menjadi kaya, buktinya angka pemberian MBAH 4D nya pada tanggal 23/10/2016 yaitu 9512 tembus alhamdulillah saya menang sebanyak Rp.480 juta dan alhamdulillah semua hutang-hutang saya sudah bisa terlunasih juga... Mungkin saudara/saudari diluar sana lagi butuh angka togel 2D|3D|4D silahkan konsultasi atau minta bantuan dengan MBAH WIRANG jangan takut anda bisa hubungi di nomer ( 082346667564 / +6282346667564 )
BalasHapusTetap Semangat Semua Permasalahan Pasti Ada Jalan KeluarNya...
Astaghfirullah , kalian semua sesat , bertobatlah
BalasHapusBodoh
BalasHapusManusia laknat
BalasHapus